BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia adalah Negara hukum
yang telah dipertegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan hukum dasar (Droit
Constitutionel) Negara Republik Indonesia. Sebagai Negara hukum, maka
pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus dilakukan berdasarkan
undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk
merealisasikan itu semua maka dibentuklah lembaga-lembaga negara yang mempunyai
tugas dan wewenang yang berbeda-beda.
Dalam organisasi kekuasaannya,
lembaga Negara di Indonesia terdiri dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif,
dan lembaga yudikatif. Lembaga eksekutif adalah pemerintah, lembaga legislatif
adalah parlemen dan lembaga yudikatif yaitu lembaga peradilan. Berdasarkan kekuasaannya
ketiga lembaga Negara ini mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang yang
berbeda-beda. Dalam proses pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, secara garis
besar legislatif merupakan lembaga pembuat undang-undang, eksekutif sebagai
eksekutor yang melaksanakan undang-undang dan yudikatif adalah lembaga yang
mengevaluasi undang-undang, serta mengadili dan memberi putusan terhadap
pelanggaran undang-undang maupun peraturan perundang-undangan.
Montesquieu
mengemukakan teori pembagian kekuasaan Negara ke dalam 3 bidang yang terpisah
satu sama lain, yaitu :
a.
legislatif
(perundang-undangan), yaitu kekuasaan dalam pembuatan undang-undang dalam arti
formal.
b.
eksekutif
(pelaksanaan), ialah kekuasaan yang berwenang melaksanakan segala tindakan yang
telah diperintahkan oleh undang-undang dan/atau yang diperlukan guna
terselenggaranya tujuan-tujuan/ maksud-maksud yang tersirat dalam undang-undang
itu.
c.
Yudikatif
(peradilan), yaitu kekuasaan yang berwenang menjaga agar undang-undang itu
dapat dijalankan sebagaimana mestinya, dengan memberikan reaksi (dengan cara
menimbang dan mengadili) terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan atau
menyimpang dari undang-undang dan/atau menghalang-halangi tercapainya
tujuan-tujuan dan maksud-maksud dari pada peraturan-peraturan perundang-undangan
tersebut.
Dalam
sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945,
meskipun ajaran-ajaran trias politica
(pemisahan kekuasaan dalam tiga bidang) cukup mempengaruhi pemikiran banyak
orang, tetapi pemisahan yang seperti itu tidak dikenal. Dalam sistem
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 dianut sistem pembagian (fungsi)
kekuasaan, dalam mana masing-masing bidang kekuasaan tersebut tidak sama sekali
terpisah. Bahkan dalam beberapa hal terdapat hubungan kerja sama yang sangat
erat antara eksekutif dan
Legislatif, eksekutif dan yudikatif, ataupun legislatif dan yudikatif. Hal ini ditandai
dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang melekat pada ketiga jenis
lembaga
tersebut.
Lembaga–lembaga Negara di Indonesia mempunyai peran penting
karena tugas, fungsi, dan wewenangnya yang berbeda antara satu dengan yang lain
dalam proses pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Masing-masing lembaga
negara melaksanakan fungsinya sehingga negara dapat dikatakan bergerak dalam
menyelesaikan segala permasalahan negara.
Berdasarkan tinjauan hukum tata negara dan hukum administrasi negara bahwa Negara akan
lumpuh atau tidak dapat bergerak tanpa adanya organ penggerak negara yaitu
berupa lembaga-lembaga negara yang difungsikan dalam rangka pencapaian tujuan
negara. Karena indonesia adalah negara hukum (Droit
Constitutionel), maka pembentukan setiap lembaga negara harus selalu
dipayungi oleh aturan yang mengatur dan mengikat akan fungsi, tugas, dan
wewenang setiap lembaga negara tersebut sehingga tidak ada tumpang tindih
wewenang antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya dalam proses
pencapaian tujaun negara.
Lembaga-lembaga negara merupakan alat negara untuk
melayani aspirasi rakyat maupun sebagai sarana untuk mengatur hubungan antara negara
dan masyarakat sehingga tujuan negara dapat tercapai seperti yang dikehendaki.
Sebagaimana Menurut teori Thomas Aquinas yang menyatakan “tujuan negara identik
dengan tujuan manusia yaitu mencapai kemuliaan abadi. Negara dalam hal ini
harus menyelenggarakan keamanan dan perdamaian yang memungkinkan manusia untuk
mencapai kemuliaan abadi”.
Hal itu sejalan dengan ajaran teori politik hukum Montesquieu yang
menyatakan politik hukum adalah usaha untuk menjamin hak dan kebebasan politik
warga negara yaitu hak warga negara untuk melakukan apapun yang diperbolehkan
oleh hukum, dan hak warga negara memperoleh rasa aman. Tugas hukum menurut
montesqueu adalah menjaga dan mengawal hak-hak warga negara untuk memastikan
bahwa hak-hak itu aman maka harus dihindari pemusatan kekuasaan dalam negara.
Kekuasaan membuat hukum (legislatif) tidak boleh berada di satu tangan dengan
kekuasaan yang melaksanakan hukum (eksekutif) maupun dengan kekuasaan yang
mengadili (yudikatif). Fungsi pemisahan itu agar terjadi saling kontrol (check and balance). Trias politica merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai
tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik bagi warga negara.
Olehnya itu, untuk mewujudkan tujuan hukum dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara harus ada lembaga sebagai penggerak negara dalam hal
menjamin hak-hak warga negara.
Dalam historis ketatanegaraan indonesia, telah terjadi
sebanyak empat kali amandemen Undang-Undang Dasar. Dalam perjalanan yang
panjang tersebut, telah dibentuk beberapa lembaga negara untuk memudahkan
pemerintah dalam melaksanakan dan menyelenggarakan negara. Istilah lembaga
negara pertama kali muncul dan diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966
tentang memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai sumber tertib
hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik
Indonesia. Dalam ketetapan tersebut terlampir skema susunan kekuasaan negara Republik
Indonesia yang menempatkan MPR sebagai lembaga negara tertinggi dibawah
undang-undang dasar, sedangkan Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai lembaga
negara dibawah MPR.
Kemudian dilanjutkan dengan ketetapan MPR No.
III/MPR/1978. Ketetapan ini membagi lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu
lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi negara
menurut ketetapan ini adalah MPR, sedangkan lembaga tinggi negara disesuaikan
dengan urutan yang terdapat dalam undang-undang dasar 1945 terdiri dari lima
lembaga yaitu Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Lembaga-lembaga
negara tersebut adalah lembaga negara yang terbentuk sebelum amandemen Undang-Undang
Dasar 1945.
Sebagai bagian dari rangkaian proses reformasi, penataan
sistem kelembagaan pun dilakukan melalui perubahan fungsi dan wewenang beberapa
lembaga negara ataupun pembentukan lembaga negara baru. Hal ini menyebabkan
banyaknya lembaga-lembaga negara yang lahir di era demokrasi. Adapun
lembaga-lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar adalah
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Kementerian Negara,
Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),
Komisi Yudisial (KY), Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bank
Sentral, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dewan
Pertimbangan Presiden. Sedangkan lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang
adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (Komnas Anak) , Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan
Pers, dan Dewan Pendidikan.
Secara definitif, alat kelengkapan suatu negara atau yang
lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-instusi yang dibentuk
guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan
diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah
selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi
pemerintahan secara aktual. Meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga
negara yang diadopsi setiap lembaga negara berbeda, secara konsep
lembaga-lembaga negara tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa
sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi
negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Saat ini proses demokrasi indonesia telah memasuki tahap
perkembangan yang sangat penting. Perkembangan itu di tandai dengan berbagai
perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga baru dalam sistem dan struktur
kekuasaan negara. Perkembangan ini merupakan hasil koreksi terhadap cara dan
sistem kekuasaan lama sebagai akibat tuntutan reformasi serta aspirasi keadilan
yang berkembang dimasyarakat, sekaligus sebagai upaya untuk mendorong
terwujudnya cita-cita negara demokrasi, tegaknya hak asasi manusia dan hukum
yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Semangat reformasi membawa negara Indonesia ke perubahan
besar. Perubahan tersebut antara lain kedaulatan bukan lagi berada pada MPR
tetapi kedaulatan ada pada rakyat, presiden tidak lagi bertanggung jawab pada
MPR, Presiden dipilih oleh rakyat maksimal dua kali masa jabatan, DPR menjadi
lembaga pemegang pembentuk undang-undang, dan yang terakhir adalah dibentuknya
lembaga-lembaga negara baru.
Dari uraian diatas, dalam
makalah ini penulis akan membahas lebih mengerucut tentang terbentuknya
lembaga-lembaga negara baru di era reformasi yang bertujuan meningkatkan
supremasi penegakan hukum kearah yang lebih baik. Ada banyak lembaga negara
baru yang dilahirkan pasca amandemen Undang-Undang Dasar. Baik lembaga yang
lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, maupun lembaga negara yang lahir
berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi penulis menganggap dari keseluruhan
lembaga negara yang dibentuk, ada empat lembaga negara yang perannya sangat mempengaruhi
adanya perubahan dalam sistem ketatanegaraan indonesia. Tentunya anggapan
penulis ini tanpa mengesampingkan peran dari lembaga-lembaga negara yang lain. Untuk
mempersempit materi makalah ini, penulis hanya akan membahas empat lembaga
negara tersebut yaitu DPD, MK, KY, dan KPK yang penulis anggap mempunyai peran
yang urgen di era demokrasi ini dalam hal membantu pelaksanaan dan
penyelenggaraan tugas dan fungsi negara yang bertujuan untuk mencapai tujuan
negara. Dari penjelasan diatas terlihat jelas bahwa pembentukan lembaga-lembaga
negara baru di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum karena tujuan
dibentuknya lembaga negara tersebut adalah merupakan suatu kehendak rakyat dan
merupakan suatu usaha negara yang menghendaki penegakan supremasi hukum.
B. Rumusan
masalah
Adapun
rumusan masalah yang penulis angkat adalah sebagai berikut :
1)
Bagaimana keterkaitan politik hukum terhadap pembentukan
lembaga negara di Indonesia ?
2)
Apa sebab dan tujuan di bentuknya lembaga negara DPD, MK,
KY, dan KPK ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang penulis
kemukakan di atas, maka tujuan penulis melakukan penelitian adalah :
1)
Untuk
memahami keterkaitan
antara politik hukum dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru di era
reformasi serta memahami tugas dan wewenang yang melekat pada lembaga tersebut.
2)
Untuk
mengetahui hal-hal yang mendasari sehingga perlunya di bentuk
lembaga baru di era reformasi.
D.
Manfaat
Dari penelitian yang akan penulis
lakukan, penulis berharap mendapatkan manfaat sebagai berikut :
1)
Menambah
wawasan penulis mengenai pentingnya pembentukan lembaga baru untuk pencapaian
tujuan negara.
2)
Menambah
pemahaman penulis terhadap pembentukan lembaga negara yang merupakan proses dari
politik hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Devinisi Politik Hukum Menurut Beberapa Ahli
Politik hukum secara
operasional diartikan sebagai konsep dan pendekatan akademik dalam memahami
persoalan hukum, bagaimana cita-cita dicapai melalui tinjauan substansi hukum
dan fungsi efektif lembaga-lembaganya. Dipihak lain, keefektifan hukum dapat
dilihat tentang seberapa jauh daya kerja hukum sesuai dengan tujuannya. Ada
banyak persepsi yang berbeda-beda tentang definisi dari politik hukum oleh para
ahli. Di bawah ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang politik hukum.
Menurut Moh. Mahfud MD
berpendapat bahwa pengertian politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh
pemerintah indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan
pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan
fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Dari pengertian tersebut
terlihat politik hukum mencakupi proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang
dapat menunjukan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan.
Dari kerangka teoritis itu menjadi sangat jelas
bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan membangun kesejahteraan tidak
akan lepas dari penggunaan berbagai tingkat peraturan hukum.
Menurut Bintan Regen Saragih berpendapat bahwa politik hukum
adalah kebijakan yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau
pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau perlu
dirubah, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan
kebijakan itu penyelenggara negara dan pemerintahan dapat berlangsung dengan
baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti menesejahteraan rakyat) secara
bertahap terencana dapat terwujud.
Sementara itu pengertian
politik hukum oleh utrecht menyatakan politik hukum berusaha membuat
kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak.
Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam
hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan ketentuan kenyataan sosial.
Makna yang terkandung dalam pengertian tersebut adalah
bahwa politik hukum merupakan kebijakan hukum agar pemerintah dapat berjalan
lancar dengan perencanaan yang baik. Tujuan yang diinginkan adalah agar hukum
yang ada dapat menjawab berbagai kebutuhan sosial yang berkembang dalam
masyarakat. Apabila hukum tertinggal dengan kebutuhan masyarakat, perlu
diadakan pembaruan hukum.
Menurut satjipto rahardjo politik hukum adalah aktivitas
memilih dan cara yang hendak dipakai dalam masyarakat yang cakupannya meliputi
jawaban atas pertanyaan mendasar yaitu: 1) Tujuan apa yang hendak dicapai
melalui sistem yang ada; 2) Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik
untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3)Kapan waktunya dan melalui cara
bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) Dapatkah suatu pola yang baku yang mapan
dirumrskan untuk membantu dan memutuskan proses pemilihan tujuan serta
cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Padmo wahjono mengatakan bahwa
politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisannya yang lain padmo wahjono
memperjelas devinisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku
mohammad radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak
penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah
perkembangan hukum yang dibangun.
Mantan Ketua Perancang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum
adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan
dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Soedarto mengemukakan kembali bahwa
politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.
B.
Keterkaitan Antara
Politik Hukum dan Pembentukan Lembaga-Lembaga Negara Baru Di Indonesia Pasca
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Pasca amandemen UUD 1945,
sistem ketatanegaraan mengalami perubahan radikal, meskipun perubahan tersebut
belum disertai dengan konsep menyeluruh tentang sistem dan susunan
ketatanegaraan ideal. Adanya perubahan tercermin dari beberapa perubahan
ataupun penambahan pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kedudukan dan
wewenang MPR serta diakomodasinya mahkamah konstitusi. Pasal 1 ayat 2 perubahan
ketiga UUD 1945 menyebutkan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan
menuurut Undang-Undang Dasar”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa kedaulatan
ada ditangan rakyat dan sepenuhnya dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku dalam
UUD. Berbeda sekali dengan ketentuan sebelumnya bahwa kedaulatan ditangan
rakyat, tetapi kedaulatan tersebut sepenuhnya dilakukan MPR. Secara filosofis,
telah terjadi pergeseran kekuasaan dalam penyelenggaraan kedaulatan rakyat,
yaitu dari MPR kepada ketentuan UUD yang berlaku. Dengan demikian, MPR tidak
lagi menjadi representasi pelaksana kedaulatan rakyat secara penuh dan pemegang
kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Sejalan dengan itu, terdapat
kebutuhan untuk merevisi cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan teori klasik
separation of power. Hal itu
merupakan suatu langkah untuk memenuhi institusi-institusi kenegaraan sebagai
mekanisme ketatanegaraan yang memadai, yang mampu membuat dan melaksanakan
hukum dan kebijakan yang relevan dalam masyarakat yang sedang berubah.
Amandemen UUD 1945 telah
membawa konsekuensi berubahnya strutur ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan
itu tidak hanya dengan diformulasikannya kembali hubungan-hubungan antar kekuasaan
yang ada (terutama eksekutif dan legislatif), tetapi juga dengan dibentuknya
beberapa lembaga negara baru. Akibatnya posisi, struktur, dan hubungan politik
hukum diantara lembaga negara yang ada dan yang baru juga telah berubah secara
signifikan.
Pada sisi lain, perkembangan
lembaga-lembaga negara baru selain lembaga-lembaga negara yang telah eksis
sebelumnya menjadi fenomena menarik dan penting untuk dicermati. Pada dasarnya,
pembentukan lembaga-lembaga negara baru dalam konteks transisi demokrasi di
indonesia menjadi kelaziman jika tidak bisa dibilang sebagai “keharusan”
berdasarkan semakin tingginya demand
dari masyarakat sipil (baik nasional maupun global) terhadap struktur
ketatanegaraan yang “diharuskan” memperhatikan konsep-konsep atau ide-ide
mengenai hak asasi manusia dan demokrasi. Salah satu contoh yang signifikan
dalam perkembangan dan pembentukan institusi- institusi demokratis di Indonesia
adalah pembentukan komisi-komisi yang disebut juga sebagai lembaga negara
(independen).
Maraknya pembentukan
lembaga-lembaga negara baru bisa disebabkan adanya tekanan intenal dan
eksternal. Tekanan internal disebabkan adanya gejolak dari dalam struktur
politik dan sosial masyarakat negara yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia,
kuatnya tuntutan reformasi politik, hukum, dan sistem kemasyarakatan secara
politik hukum telah menyebabkan terjadinya dekonsentrasi kekuasaan negara dan
reposisi atau reksturisasi sistem ketatanegaraan. Adapun tekanan eksternal
dapat dilihat dari fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan
gerakan hak asasi manusia internasional. Pengaruh ketiga arus global itu sangat
penting bagi proses reformasi yang membawa Indonesia ke suatu transisi
demokrasi. Hal ini disebabkan banyak institusi internasional yang secara
langsung maupun tidak langsung berkepentingan di indonesia meng-impose pemerintah untuk menerapkan
konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusia yang disosialisasikan diantaranya
melalui lembaga-lembaga internasional dan regional seperti PBB dan Bank Dunia.
Di negara Indonesia, ada
beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan
lembaga-lembaga baru yang bersifat independen, diantaranya sebagai berikut :
1.
Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada
akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistematik dan mengakar dan
sulit untuk diberantas.
2.
Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada
karena satu atau lain halnya tunduk dibawah pengaruh satu kekuasaan negara atau
kekuasaan lain.
3.
Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada
untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi
karena persoalan birokrasi dan KKN.
4.
Pengaruh global, dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency atau watchdog
institutions dibanyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju
demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan sebagai
alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari
sistem yang harus direformasi
5.
Tekanan lembaga-lembaga internasional tidak hanya sebagai
prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi
sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada dibawah
kekuasaan yang otoriter.
Pembentukan lembaga-lembaga baru diluar lembaga negara
yang telah ada pasca amandemen UUD 1945 merupakan bukti keinginan baik
pemerintah maupun rakyat indonesia untuk membentuk suatu lembaga negara dengan
fungsi yang lebih khusus yang bersifat independen dan terlepas dari sistem yang
sudah ada sejak lama. Alasan kuat dibalik ini selain untuk memperoleh
“kepercayaan dan ketenangan” publik (nasional dan internasional), juga karena
lembaga yang telah ada banyak yang sudah mengalami penurunan kredibilitas sama
sekali dimata masyarakat nasional maupun internasional. Dengan mengingat
lembaga-lembaga negara yang telah telah tercemar oleh korupsi, kolusi dan
nepotisme, pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang independen dan lepas
dari struktur kenegaraan yang telah ada merupakan satu-satunya jawaban dan cara
yang paling mungkin dan paling cepat untuk dilakukan.
Pembentukan lembaga negara harus mempunyai landasan pijak
yang kuat dan paradigma yang jelas sehingga keberadaannya membawa manfaat bagi
kepentingan publik pada umumnya dan bagi penataan sistem ketatanegaraan pada
khususnya. Pembentukan negara tidak lain untuk kepentingan rakyat sehingga
pembentukan lembaga negara/organ negara/alat perlengkapan negara harus
mempresentasikan aspirasi rakyat.
Karena negara indonesia adalah negara hukum (Droit
Constitutionel), maka
setiap pembentukan lembaga negara pun harus memiliki dasar hukum sehingga
lembaga negara tersebut dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
hukum yang mengatur. oleh sebab itu ketika suatu lembaga negara akan dibentuk
wajib kiranya membentuk dasar hukumnya terlebih dahulu sehingga lembaga negara
yang dibentuk punya batasan kewenangan yang jelas. Tentunya hal ini adalah
untuk membatasi atau menghindari tumpang tindih kekuasaan antara
lembaga-lembaga negara.
Negara hukum pada dasarnya merupakan negara yang menolak
melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum
yang adil dan demokratis, sehingga kekuasaan negara didalamnya, harus tunduk
pada aturan main. Salah satu wujud aturan main tersebut adalah adanya landasan
legal yuridis yang jelas dan menjadi aturan main terhadap semua anasir yang
berbeda dalam negara, termasuk terhadap lembaga-lembaga negara. Sesuai dengan
asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar
legalitasnya.
Secara garis besar, lembaga-lembaga negara di indonesia
dibentuk melalui tiga dasar legalitas. yang pertama adalah lembaga negara yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang kedua adalah
lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, dan yang
terakhir adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang devinisi
politik hukum menurut Mahfud MD yang menyatakan bahwa politik hukum merupakan
pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan
UUD 1945. Selain itu padmo wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan
penegakan hukum. sementara itu satjipto rahardjo mendefinisikan poltik hukum
sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai dalam masyarakat yang
cakupannya meliputi jawaban atas pertanyaan mendasar yaitu:
1.
Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada
2.
Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk
dipakai dalam mencapai tujuan tersebut.
3.
Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu
diubah
4.
Dapatkah suatu pola yang baku yang mapan dirumrskan untuk
membantu dan memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai
tujuan tersebut dengan baik.
Dasar pemikiran dari berbagai
definisi politik hukum seperti yang dijelaskan itu didasarkan pada kenyataan
bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai
itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan
atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan
yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Pembentukan lembaga lembaga
negara merupakan suatu proses politik hukum. Jika dikaitkan dengan berbagai
devinisi politik hukum yang ada, sangat jelas bahwa gagasan atau konsep
pembentukan lembaga baru yang direalisasikan melalui pembuatan hukum baru
sebagai dasar legalitas, dengan tujuan pencapaian tujuan negara adalah
merupakan satu paket yang tak terpisahkan dalam politik hukum.
C.
Terbentuknya
Lembaga Negara DPD, KY, KPK, dan MK Sebagai Rangkaian Proses Politik Hukum Di Era
Reformasi
1.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD)
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota
DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada
awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan
tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi
kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan
persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan
tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan
kepada lembaga baru ini.
Gagasan-gagasan
akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya
diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan
daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan
“utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut
diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota
DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar
dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan
perundang-undangan.
Dalam
periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan
tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili
negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. Pemegang kedaulatan didalam
RIS adalah pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat [pasal 1 (2)] yang
sekaligus merupakan badan pembentuk undang-undang khusus, yakni, mengenai satu,
beberapa, atau semua daerah bagian atau bagiannya, atau yang khusus mengenai
hubungan antara RIS dan daerah-daerah yang tersebut pada pasal 2 (Pasal 127a).
Selanjutnya,
dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap
mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi
berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk
menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum
(Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang
akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena
itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan
selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada
tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena
bentuk negara tidak lagi federal.
Setelah
UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini
lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959
tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun
1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa
MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan
golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui
penunjukan oleh Soekarno. Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan
wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa
menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada
masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai
anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat
dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya,
efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat
nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua
kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan
daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan
pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945
pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun
1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua
dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus
2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan
ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan
untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian
melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
Munculnya
gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG)
dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi
Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di
MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini
bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip
perwakilan berdasarkan pemilihan. Anggota UG memaparkan dua pilihan yang
tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan
kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan
dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih
melalui Pemilu.
Lalu
muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada
penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah,
lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi
wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.
MPR
lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan
tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan
UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan
yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan
batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR
selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Sejalan
dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah,
memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam
kehidupan nasional serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia,
maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga
perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).
Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Sejak
perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari
sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Perubahan tersebut tidak terjadi
seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat
maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI
selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang
bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan
mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di
negara yang menganut paham demokrasi.
Dalam proses pembahasan
tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat
mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar
daerah dan antara pusat dengan daerah, secara adil dan serasi. Gagasan
dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi
daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses
pengambilan keputusan politik untuk hal-hal terutama yang berkaitan
langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi
yang nyata bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada
masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan
diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan
nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini
(sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak
memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
2.
Komisi
Yudisial (KY)
Gagasan
tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam
ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam
pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1968
misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan
Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan
pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau
usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh
Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman.
Namun,
ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Sewaktu terjadi proses reformasi di tahun 1998 gagasan perlunya lembaga khusus
yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman
memperoleh perhatian yang sangat signifikan.
Bagian
penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan bahwa untuk meningkatkan check and balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu
diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan
transparan oleh masyarakat. Selain itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan Hakim
yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai
perekrutan, promosi, dan mutasi hakim serta menyusun kode etik bagi para hakim.
Ketika
proses amandemen UUD 1945 dilakukan, gagasan mewujudkan lembaga khusus sebagai
pengawas eksternal badan peradilan demi untuk menegakkan kewibawaan peradilan
semakin mendapatkan perhatian yang sangat serius dari para wakil rakyat di DPR.
Melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang
pembentukan Komisi Yudisial.
Ketentuan
mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan
Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah
peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak. Komisi
Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Selanjutnya, dalam rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial,
dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang
disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Komisi ini dibentuk sebagai respon terhadapupaya
penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini dianggap kurang
baik. Selain itu untuk meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam
memilih dan menentukan hakim agung di mahkamah agung. Mahkamah agung adalah
institusi peradilan yang independen dan seharusnya lepas dari campur tangan
dari kekuasaan manapun. Dengan adanya komisi yudisial, pencalonan hakim agung
diharapkan dilakukan secara transparan, objektif, dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Komisi yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan
terhadap perilaku hakim. Pengawasan yang dilakukan secara internal peradilan
terhadap para hakim terbukti kurang efektif untuk menindak secara tegas
hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.
Dari penjelasan sebelumnya maka dapat di buat suatu
kesimpulan bahwa tujuan dibentuknya komisi yudisial adalah :
1. Mendukung terwujudnya kekuasaan
kehakiman yang mandiri untuk menegakkan hukum dan keadilan.
2.
Meningkatkan
integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan
pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
3.
Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tindak
pidana korupsi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari
jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi
kualitas tindak pidana yang semakin sistematis. Bahkan lingkupnya memasuki seluruh
aspek dan lini kehidupan, tidak saja di lembaga eksekutif, yudikatif, tetapi juga di lembaga legistif, baik di
pusat maupun di daerah.
Meningkatnya
tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat,
dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut
cara-cara yang luar biasa.
Penegakan
hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara
konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu
diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan
khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta
berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum,
Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha
memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara
lain dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bebas dan Bersih dari KKN, Undang Undang No. 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN serta Undang Undang No.
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah
diubah dengan Undang Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Berdasarkan
pasal 43 Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 tahun 2001 ,
badan khusus tersebut selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan
supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan,
sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja dan
pertanggungjawaban, tugas dan wewenang diatur dalam Undang Undang No 30 tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut
ketentuan pasal 6 Undang Undang No 30 tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi
mempunyai tugas :
a. melakukan koordinasi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b. melakukan supervisi dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan tindak pidana korupsi ;
d. melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e. melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Komisi
Pemberantasan Korupsi berkewajiban :
a. memberikan perlindungan terhadap
saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan
mengenai terjadinya tindaki pidana korupsi;
b. memberikan informasi kepada
masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain
yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c. menyusun laporan tahunan dan
menyampaikan kepada Presiden RI, DPR RI dan BPK;
d. menegakkan sumpah jabatan;
e. menjalankan tugas, tanggungjawab dan
wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Dengan
demikian KPK dalam Undang Undang ini dapat melakukan berbagai fungsi sebagai
berikut :
a. dapat menyusun jaringan kerja yang
kuat dengan institusi dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai
counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilakukan
secara efisien dan efektif.
b. Tidak memonopoli tugas dan wewenang
Penyelidikan, Penyidikan, Dan Penuntutan.
c. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan
institusi yang ada dalam pemberantasan korupsi.
d. Berfungsi untuk melakukan supervisi
dan memantau institusi yang telah dan dalam keadaan tertentu dapat
mengambil-alih tugas dan wewenang Penyelidikan, Penyidikan, Dan Penuntutan
(super body) yang sedang
dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan.
4.
Mahkamah
Konstitusi (MK)
Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung (MA), Ikatan Hakim
Indonesia (IKAHI) telah lama memperjuangkan agar mahkamah agung diberi
kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu
strategi yang dicetuskan sejak tahun 1970-an untuk memberdayakan mahkamah
agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan upaya hukum kasasi
dan peninjauan kembali, untuk mengurangi beban tunggakan perkara yang terlalu
besa, yang kebanyakan dilihat dari sudut hukum sudah jelas terbukti dan tidak
ada masalah hukum penting yang harus diperiksa mahkamah agung, yang merupakan
salah penerapan maupun melampaui wewenangnya.
Strategi lain adalah mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan
pada mahkamah agung untuk menangani dan mengawasi juga masalah administrasi,
kewenangan, dan organisasi, sehingga dapat lebih menjamin kemandirian mahkamah
agung. Tuntutan tersebut tidak pernah mendapat tanggapan yang serius untuk
waktu yang lama. Hal tersebut dapat dipahami, karena suasana dan paradigma
kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik, waktu itu tidak
memperkenankan adanya perubahan konstitusi. Bahkan UUD 1945 cenderung
disakralkan. Padahal tuntutan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan
perubahan konstitusi.
Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi yang membawa
kejatuhan pemerintah Orde Baru ditahun 1998, terjadi perubahan yang sangat
drastis dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Diawali dengan
perubahan pertama UUD 1945 Pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan
presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang memegang
kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan perubahan kedua yang
telah mengamandir Undang-Undang Dasar 1945 lebih jauh lagi.
Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling menonjol adalah
dimasukannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA. Perubahan ketiga telah membawa
perubahan lebih jauh dengan diperintahkannya pemilihan presiden dan wakil
presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dan dapata
diberhentikan dalam masa jabatannya karena telah diduga melakukan pelanggaran
hukum dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi terlebih dahulu harus
melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan mahkamah konstitusi yang
menyatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.
Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu, yang tidak
pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional yang baik, merupakan
kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya mahkamah konstitusi di
Indonesia. Hal lain yang mendasari lahirnya Mahkamah Konstitusi adalah
banyaknya lembaga-lembaga negara baru yang terbentuk di era reformasi, maka
rawan akan terjadinya perselisihan antara lembaga. Olehnya itu diperlukan
lembaga negara yang independen untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga
negara tersebut.
Berdirinya lembaga
Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen
konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun
2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan
Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan
kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah
disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan
Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara
sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan
Keempat. DPR
dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah
Konstitusi.
Setelah
melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan
disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4316). Pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai
beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang penulis kemukakan sebelumnya maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1.
Pembentukan lembaga lembaga negara merupakan suatu proses
politik hukum. Jika dikaitkan dengan berbagai devinisi politik hukum yang ada,
sangat jelas bahwa gagasan atau konsep pembentukan lembaga baru yang
direalisasikan melalui pembuatan hukum baru sebagai dasar legalitas, dengan
tujuan pencapaian tujuan negara adalah merupakan satu paket yang tak
terpisahkan dalam politik hukum.
2.
Di negara Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi inti
dan mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga baru yang bersifat
independen, diantaranya sebagai berikut :
a.
Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada
akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistematik dan mengakar dan
sulit untuk diberantas.
b.
Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena
satu atau lain halnya tunduk dibawah pengaruh satu kekuasaan negara atau
kekuasaan lain.
c.
Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada
untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi
karena persoalan birokrasi dan KKN.
d.
Pengaruh global, dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency atau watchdog
institutions dibanyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju
demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan sebagai
alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari
sistem yang harus direformasi
e.
Tekanan lembaga-lembaga internasional tidak hanya sebagai
prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi
sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada dibawah
kekuasaan yang otoriter.
B. Saran
Setelah membahas dan menganalisa terhadap permasalahan
yang dikemukakan sebelumnya, maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu Membentuk
Lembaga Negara baru di masa-masa yang akan datang, ada empat prinsip yang harus
diperhatikan agar lembaga yang di bentuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
secara optimal sehingga terbentuknya lembaga negara tersebut mampu menjawab
kebutuhan hukum rakyat indonesia dan terhindar dari sengketa dengan lembaga
negara yang lain. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.
penegasan prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme
adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan
pemerintahan yang ada di batasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga
menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap. Untuk itu, pembentukan
lembaga-lembaga negara tidak lain untuk menegaskan dan memperkuat
prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga hak-hak dasar warga negara semakin
terjamin.
2.
Prinsip checks and
balance. Banyaknya penyimpangan di masa lalu, salah satunya disebabkan
ketiadaan mekanisme checks and balance
dalam sistem bernegara. Prinsip checks and balance menjadi roh bagi
pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu pembentukan organ-organ
kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD 1945 yang
mengarah ke saparation of power,
untuk lebih menciptakan mekanisme check
and balance.
3.
Prinsip integrasi. Pada dasarnya konsep kelembagaan
negara selain harus memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas juga harus
membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsi-fungsi negara
dalam sistem pemerintahan secara aktual. Pemebentukan lembaga negara tidak bisa
dilakukan secara parsial, keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga-lembaga
negara lain yang telah ada dan eksis sebelumnya. Lembaga-lembaga negara harus
disusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan proses yang saling
mengisi dan memperkuat.
4.
Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Tujuan pembentukan
negara pada dasarnya adalah untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan menjamin
hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan
dan pembentukan lembaga-lembaga negara harus dijalankan untuk kepentingan umum
dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak
individu warga negara.
DAFATAR
PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi
Dan Konstitusioonalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Lembaga
Negara Dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta : Konsorsium
Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MKRI).
Djauhari. 2008. Politik Hukum Negara Kesejahteraan
Indonesia. Semarang : Unissula press.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.
Huda, Ni’Matul. 2007. Lembaga
Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta
: UII
Press.
Joeniarto. 2003. Sejarah
Ketatanegaraan Republik
Indonesia. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Mahfud MD, Moh. 2011. Politik Hukum
Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Grafindo Persada.
Regon, Saragih Bintan. 2006. Politik
Hukum. Bandung : CV. Utomo.
Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara
Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia. Jakarta : Sinar
Grafika.
Yuhana, Abdy. 2007. Sistim
Ketatanegaraan Di Indonesia Paska
Perubahan UUD
1945. Bandung : Fokus Media.