Sabtu, 16 Februari 2013

Makalah Politik Hukum


BAB I PENDAHULUAN                       
A.    Latar Belakang
Indonesia adalah Negara hukum yang telah dipertegas di dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum dasar (Droit Constitutionel) Negara Republik Indonesia. Sebagai Negara hukum, maka pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara harus dilakukan berdasarkan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk merealisasikan itu semua maka dibentuklah lembaga-lembaga negara yang mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda-beda.
Dalam organisasi kekuasaannya, lembaga Negara di Indonesia terdiri dari lembaga eksekutif, lembaga legislatif, dan lembaga yudikatif. Lembaga eksekutif adalah pemerintah, lembaga legislatif adalah parlemen dan lembaga yudikatif yaitu lembaga peradilan. Berdasarkan kekuasaannya ketiga lembaga Negara ini mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang yang berbeda-beda. Dalam proses pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, secara garis besar legislatif merupakan lembaga pembuat undang-undang, eksekutif sebagai eksekutor yang melaksanakan undang-undang dan yudikatif adalah lembaga yang mengevaluasi undang-undang, serta mengadili dan memberi putusan terhadap pelanggaran undang-undang maupun peraturan perundang-undangan.
Montesquieu mengemukakan teori pembagian kekuasaan Negara ke dalam 3 bidang yang terpisah satu sama lain, yaitu :
a.       legislatif (perundang-undangan), yaitu kekuasaan dalam pembuatan undang-undang dalam arti formal.
b.      eksekutif (pelaksanaan), ialah kekuasaan yang berwenang melaksanakan segala tindakan yang telah diperintahkan oleh undang-undang dan/atau yang diperlukan guna terselenggaranya tujuan-tujuan/ maksud-maksud yang tersirat dalam undang-undang itu.
c.       Yudikatif (peradilan), yaitu kekuasaan yang berwenang menjaga agar undang-undang itu dapat dijalankan sebagaimana mestinya, dengan memberikan reaksi (dengan cara menimbang dan mengadili) terhadap tindakan-tindakan yang bertentangan atau menyimpang dari undang-undang dan/atau menghalang-halangi tercapainya tujuan-tujuan dan maksud-maksud dari pada peraturan-peraturan perundang-undangan tersebut.
Dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945, meskipun ajaran-ajaran trias politica (pemisahan kekuasaan dalam tiga bidang) cukup mempengaruhi pemikiran banyak orang, tetapi pemisahan yang seperti itu tidak dikenal. Dalam sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 dianut sistem pembagian (fungsi) kekuasaan, dalam mana masing-masing bidang kekuasaan tersebut tidak sama sekali terpisah. Bahkan dalam beberapa hal terdapat hubungan kerja sama yang sangat erat antara eksekutif dan Legislatif, eksekutif dan yudikatif, ataupun legislatif dan yudikatif. Hal ini ditandai dengan tugas, fungsi, dan wewenang yang melekat pada ketiga jenis lembaga tersebut.
Lembaga–lembaga Negara di Indonesia mempunyai peran penting karena tugas, fungsi, dan wewenangnya yang berbeda antara satu dengan yang lain dalam proses pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Masing-masing lembaga negara melaksanakan fungsinya sehingga negara dapat dikatakan bergerak dalam menyelesaikan segala permasalahan negara.
Berdasarkan tinjauan hukum tata negara dan hukum administrasi negara bahwa Negara akan lumpuh atau tidak dapat bergerak tanpa adanya organ penggerak negara yaitu berupa lembaga-lembaga negara yang difungsikan dalam rangka pencapaian tujuan negara. Karena indonesia adalah negara hukum (Droit Constitutionel), maka pembentukan setiap lembaga negara harus selalu dipayungi oleh aturan yang mengatur dan mengikat akan fungsi, tugas, dan wewenang setiap lembaga negara tersebut sehingga tidak ada tumpang tindih wewenang antara lembaga negara yang satu dengan yang lainnya dalam proses pencapaian tujaun negara.
Lembaga-lembaga negara merupakan alat negara untuk melayani aspirasi rakyat maupun sebagai sarana untuk mengatur hubungan antara negara dan masyarakat sehingga tujuan negara dapat tercapai seperti yang dikehendaki. Sebagaimana Menurut teori Thomas Aquinas yang menyatakan “tujuan negara identik dengan tujuan manusia yaitu mencapai kemuliaan abadi. Negara dalam hal ini harus menyelenggarakan keamanan dan perdamaian yang memungkinkan manusia untuk mencapai kemuliaan abadi”.
Hal itu sejalan dengan ajaran teori politik hukum Montesquieu yang menyatakan politik hukum adalah usaha untuk menjamin hak dan kebebasan politik warga negara yaitu hak warga negara untuk melakukan apapun yang diperbolehkan oleh hukum, dan hak warga negara memperoleh rasa aman. Tugas hukum menurut montesqueu adalah menjaga dan mengawal hak-hak warga negara untuk memastikan bahwa hak-hak itu aman maka harus dihindari pemusatan kekuasaan dalam negara. Kekuasaan membuat hukum (legislatif) tidak boleh berada di satu tangan dengan kekuasaan yang melaksanakan hukum (eksekutif) maupun dengan kekuasaan yang mengadili (yudikatif). Fungsi pemisahan itu agar terjadi saling kontrol (check and balance). Trias politica merupakan metode dalam politik hukum untuk mencapai tujuan yang dituju, yakni adanya jaminan kebebasan politik bagi warga negara. Olehnya itu, untuk mewujudkan tujuan hukum dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus ada lembaga sebagai penggerak negara dalam hal menjamin hak-hak warga negara.
Dalam historis ketatanegaraan indonesia, telah terjadi sebanyak empat kali amandemen Undang-Undang Dasar. Dalam perjalanan yang panjang tersebut, telah dibentuk beberapa lembaga negara untuk memudahkan pemerintah dalam melaksanakan dan menyelenggarakan negara. Istilah lembaga negara pertama kali muncul dan diatur dalam ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang memorandum Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut terlampir skema susunan kekuasaan negara Republik Indonesia yang menempatkan MPR sebagai lembaga negara tertinggi dibawah undang-undang dasar, sedangkan Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA sebagai lembaga negara dibawah MPR.
Kemudian dilanjutkan dengan ketetapan MPR No. III/MPR/1978. Ketetapan ini membagi lembaga negara menjadi dua kategori, yaitu lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara. Lembaga tertinggi negara menurut ketetapan ini adalah MPR, sedangkan lembaga tinggi negara disesuaikan dengan urutan yang terdapat dalam undang-undang dasar 1945 terdiri dari lima lembaga yaitu Presiden, Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Mahkamah Agung (MA). Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga negara yang terbentuk sebelum amandemen Undang-Undang Dasar 1945.
Sebagai bagian dari rangkaian proses reformasi, penataan sistem kelembagaan pun dilakukan melalui perubahan fungsi dan wewenang beberapa lembaga negara ataupun pembentukan lembaga negara baru. Hal ini menyebabkan banyaknya lembaga-lembaga negara yang lahir di era demokrasi. Adapun lembaga-lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden dan Wakil Presiden, Kementerian Negara, Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Pemerintahan Daerah, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bank Sentral, Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Dewan Pertimbangan Presiden. Sedangkan lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Komnas Anak) , Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan.
Secara definitif, alat kelengkapan suatu negara atau yang lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-instusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. Sedangkan secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintahan secara aktual. Meskipun dalam praktiknya tipe lembaga-lembaga negara yang diadopsi setiap lembaga negara berbeda, secara konsep lembaga-lembaga negara tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara jangka panjang.
Saat ini proses demokrasi indonesia telah memasuki tahap perkembangan yang sangat penting. Perkembangan itu di tandai dengan berbagai perubahan dan pembentukan institusi atau lembaga baru dalam sistem dan struktur kekuasaan negara. Perkembangan ini merupakan hasil koreksi terhadap cara dan sistem kekuasaan lama sebagai akibat tuntutan reformasi serta aspirasi keadilan yang berkembang dimasyarakat, sekaligus sebagai upaya untuk mendorong terwujudnya cita-cita negara demokrasi, tegaknya hak asasi manusia dan hukum yang berkeadilan, serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
Semangat reformasi membawa negara Indonesia ke perubahan besar. Perubahan tersebut antara lain kedaulatan bukan lagi berada pada MPR tetapi kedaulatan ada pada rakyat, presiden tidak lagi bertanggung jawab pada MPR, Presiden dipilih oleh rakyat maksimal dua kali masa jabatan, DPR menjadi lembaga pemegang pembentuk undang-undang, dan yang terakhir adalah dibentuknya lembaga-lembaga negara baru.
Dari uraian diatas, dalam makalah ini penulis akan membahas lebih mengerucut tentang terbentuknya lembaga-lembaga negara baru di era reformasi yang bertujuan meningkatkan supremasi penegakan hukum kearah yang lebih baik. Ada banyak lembaga negara baru yang dilahirkan pasca amandemen Undang-Undang Dasar. Baik lembaga yang lahir berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, maupun lembaga negara yang lahir berdasarkan Undang-Undang. Akan tetapi penulis menganggap dari keseluruhan lembaga negara yang dibentuk, ada empat lembaga negara yang perannya sangat mempengaruhi adanya perubahan dalam sistem ketatanegaraan indonesia. Tentunya anggapan penulis ini tanpa mengesampingkan peran dari lembaga-lembaga negara yang lain. Untuk mempersempit materi makalah ini, penulis hanya akan membahas empat lembaga negara tersebut yaitu DPD, MK, KY, dan KPK yang penulis anggap mempunyai peran yang urgen di era demokrasi ini dalam hal membantu pelaksanaan dan penyelenggaraan tugas dan fungsi negara yang bertujuan untuk mencapai tujuan negara. Dari penjelasan diatas terlihat jelas bahwa pembentukan lembaga-lembaga negara baru di Indonesia merupakan suatu proses politik hukum karena tujuan dibentuknya lembaga negara tersebut adalah merupakan suatu kehendak rakyat dan merupakan suatu usaha negara yang menghendaki penegakan supremasi hukum.
B.     Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang penulis angkat adalah sebagai berikut :
1)      Bagaimana keterkaitan politik hukum terhadap pembentukan lembaga negara di Indonesia ?
2)      Apa sebab dan tujuan di bentuknya lembaga negara DPD, MK, KY, dan KPK ?

C.    Tujuan
Dari rumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka tujuan penulis melakukan penelitian adalah :
1)      Untuk memahami keterkaitan antara politik hukum dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru di era reformasi serta memahami tugas dan wewenang yang melekat pada lembaga tersebut.
2)      Untuk mengetahui hal-hal yang mendasari sehingga perlunya di bentuk lembaga baru di era reformasi.
D.     Manfaat
Dari penelitian yang akan penulis lakukan, penulis berharap mendapatkan manfaat sebagai berikut :
1)      Menambah wawasan penulis mengenai pentingnya pembentukan lembaga baru untuk pencapaian tujuan negara.
2)      Menambah pemahaman penulis terhadap pembentukan lembaga negara yang merupakan proses dari politik hukum.






BAB II
PEMBAHASAN
A.    Devinisi Politik Hukum Menurut Beberapa Ahli
Politik hukum secara operasional diartikan sebagai konsep dan pendekatan akademik dalam memahami persoalan hukum, bagaimana cita-cita dicapai melalui tinjauan substansi hukum dan fungsi efektif lembaga-lembaganya. Dipihak lain, keefektifan hukum dapat dilihat tentang seberapa jauh daya kerja hukum sesuai dengan tujuannya. Ada banyak persepsi yang berbeda-beda tentang definisi dari politik hukum oleh para ahli. Di bawah ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang politik hukum.
Menurut Moh. Mahfud MD berpendapat bahwa pengertian politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan. Kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
Dari pengertian tersebut terlihat politik hukum mencakupi proses pembuatan dan pelaksanaan hukum yang dapat menunjukan sifat dan ke arah mana hukum akan dibangun dan ditegakkan. Dari kerangka teoritis itu menjadi sangat jelas  bahwa kebijakan pemerintah terkait dengan membangun kesejahteraan tidak akan lepas dari penggunaan berbagai tingkat peraturan hukum.
Menurut Bintan  Regen Saragih berpendapat bahwa politik hukum adalah kebijakan yang diambil (ditempuh) oleh negara (melalui lembaganya atau pejabatnya) untuk menetapkan hukum yang mana yang perlu dipertahankan, atau perlu dirubah, atau hukum mengenai apa yang perlu diatur atau dikeluarkan agar dengan kebijakan itu penyelenggara negara dan pemerintahan dapat berlangsung dengan baik dan tertib sehingga tujuan negara (seperti menesejahteraan rakyat) secara bertahap terencana dapat terwujud.
Sementara itu pengertian politik hukum oleh utrecht menyatakan politik hukum berusaha membuat kaidah-kaidah yang akan menentukan bagaimana seharusnya manusia bertindak. Politik hukum menyelidiki perubahan-perubahan apa yang harus diadakan dalam hukum yang sekarang berlaku supaya sesuai dengan ketentuan kenyataan sosial.
Makna yang terkandung dalam pengertian tersebut adalah bahwa politik hukum merupakan kebijakan hukum agar pemerintah dapat berjalan lancar dengan perencanaan yang baik. Tujuan yang diinginkan adalah agar hukum yang ada dapat menjawab berbagai kebutuhan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Apabila hukum tertinggal dengan kebutuhan masyarakat, perlu diadakan pembaruan hukum.
Menurut satjipto rahardjo politik hukum adalah aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas pertanyaan mendasar yaitu: 1) Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada; 2) Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut; 3)Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah; 4) Dapatkah suatu pola yang baku yang mapan dirumrskan untuk membantu dan memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Padmo wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk. Di dalam tulisannya yang lain padmo wahjono memperjelas devinisi tersebut dengan mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum. Teuku mohammad radhie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.
Mantan Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Soedarto mengemukakan bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan akan dipergunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Soedarto mengemukakan kembali bahwa politik hukum merupakan upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.

B.     Keterkaitan Antara Politik Hukum dan Pembentukan Lembaga-Lembaga Negara Baru Di Indonesia Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar 1945
Pasca amandemen UUD 1945, sistem ketatanegaraan mengalami perubahan radikal, meskipun perubahan tersebut belum disertai dengan konsep menyeluruh tentang sistem dan susunan ketatanegaraan ideal. Adanya perubahan tercermin dari beberapa perubahan ataupun penambahan pasal dalam UUD 1945 yang mengatur tentang kedudukan dan wewenang MPR serta diakomodasinya mahkamah konstitusi. Pasal 1 ayat 2 perubahan ketiga UUD 1945 menyebutkan “kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menuurut Undang-Undang Dasar”. Dari ketentuan tersebut jelas bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan sepenuhnya dilaksanakan menurut ketentuan yang berlaku dalam UUD. Berbeda sekali dengan ketentuan sebelumnya bahwa kedaulatan ditangan rakyat, tetapi kedaulatan tersebut sepenuhnya dilakukan MPR. Secara filosofis, telah terjadi pergeseran kekuasaan dalam penyelenggaraan kedaulatan rakyat, yaitu dari MPR kepada ketentuan UUD yang berlaku. Dengan demikian, MPR tidak lagi menjadi representasi pelaksana kedaulatan rakyat secara penuh dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan negara.
Sejalan dengan itu, terdapat kebutuhan untuk merevisi cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan teori klasik separation of power. Hal itu merupakan suatu langkah untuk memenuhi institusi-institusi kenegaraan sebagai mekanisme ketatanegaraan yang memadai, yang mampu membuat dan melaksanakan hukum dan kebijakan yang relevan dalam masyarakat yang sedang berubah.
Amandemen UUD 1945 telah membawa konsekuensi berubahnya strutur ketatanegaraan di Indonesia. Perubahan itu tidak hanya dengan diformulasikannya kembali hubungan-hubungan antar kekuasaan yang ada (terutama eksekutif dan legislatif), tetapi juga dengan dibentuknya beberapa lembaga negara baru. Akibatnya posisi, struktur, dan hubungan politik hukum diantara lembaga negara yang ada dan yang baru juga telah berubah secara signifikan.
Pada sisi lain, perkembangan lembaga-lembaga negara baru selain lembaga-lembaga negara yang telah eksis sebelumnya menjadi fenomena menarik dan penting untuk dicermati. Pada dasarnya, pembentukan lembaga-lembaga negara baru dalam konteks transisi demokrasi di indonesia menjadi kelaziman jika tidak bisa dibilang sebagai “keharusan” berdasarkan semakin tingginya demand dari masyarakat sipil (baik nasional maupun global) terhadap struktur ketatanegaraan yang “diharuskan” memperhatikan konsep-konsep atau ide-ide mengenai hak asasi manusia dan demokrasi. Salah satu contoh yang signifikan dalam perkembangan dan pembentukan institusi- institusi demokratis di Indonesia adalah pembentukan komisi-komisi yang disebut juga sebagai lembaga negara (independen).
Maraknya pembentukan lembaga-lembaga negara baru bisa disebabkan adanya tekanan intenal dan eksternal. Tekanan internal disebabkan adanya gejolak dari dalam struktur politik dan sosial masyarakat negara yang bersangkutan. Dalam konteks Indonesia, kuatnya tuntutan reformasi politik, hukum, dan sistem kemasyarakatan secara politik hukum telah menyebabkan terjadinya dekonsentrasi kekuasaan negara dan reposisi atau reksturisasi sistem ketatanegaraan. Adapun tekanan eksternal dapat dilihat dari fenomena gerakan arus global pasar bebas, demokratisasi, dan gerakan hak asasi manusia internasional. Pengaruh ketiga arus global itu sangat penting bagi proses reformasi yang membawa Indonesia ke suatu transisi demokrasi. Hal ini disebabkan banyak institusi internasional yang secara langsung maupun tidak langsung berkepentingan di indonesia meng-impose pemerintah untuk menerapkan konsep-konsep demokrasi dan hak asasi manusia yang disosialisasikan diantaranya melalui lembaga-lembaga internasional dan regional seperti PBB dan Bank Dunia.
Di negara Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga baru yang bersifat independen, diantaranya sebagai berikut :
1.      Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistematik dan mengakar dan sulit untuk diberantas.
2.      Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu atau lain halnya tunduk dibawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain.
3.      Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
4.      Pengaruh global, dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency  atau watchdog institutions dibanyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan sebagai alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi
5.      Tekanan lembaga-lembaga internasional tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada dibawah kekuasaan yang otoriter.
Pembentukan lembaga-lembaga baru diluar lembaga negara yang telah ada pasca amandemen UUD 1945 merupakan bukti keinginan baik pemerintah maupun rakyat indonesia untuk membentuk suatu lembaga negara dengan fungsi yang lebih khusus yang bersifat independen dan terlepas dari sistem yang sudah ada sejak lama. Alasan kuat dibalik ini selain untuk memperoleh “kepercayaan dan ketenangan” publik (nasional dan internasional), juga karena lembaga yang telah ada banyak yang sudah mengalami penurunan kredibilitas sama sekali dimata masyarakat nasional maupun internasional. Dengan mengingat lembaga-lembaga negara yang telah telah tercemar oleh korupsi, kolusi dan nepotisme, pembentukan lembaga-lembaga negara baru yang independen dan lepas dari struktur kenegaraan yang telah ada merupakan satu-satunya jawaban dan cara yang paling mungkin dan paling cepat untuk dilakukan.
Pembentukan lembaga negara harus mempunyai landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas sehingga keberadaannya membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya dan bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. Pembentukan negara tidak lain untuk kepentingan rakyat sehingga pembentukan lembaga negara/organ negara/alat perlengkapan negara harus mempresentasikan aspirasi rakyat.
Karena negara indonesia adalah negara hukum (Droit Constitutionel), maka setiap pembentukan lembaga negara pun harus memiliki dasar hukum sehingga lembaga negara tersebut dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan hukum yang mengatur. oleh sebab itu ketika suatu lembaga negara akan dibentuk wajib kiranya membentuk dasar hukumnya terlebih dahulu sehingga lembaga negara yang dibentuk punya batasan kewenangan yang jelas. Tentunya hal ini adalah untuk membatasi atau menghindari tumpang tindih kekuasaan antara lembaga-lembaga negara.
Negara hukum pada dasarnya merupakan negara yang menolak melepaskan kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis, sehingga kekuasaan negara didalamnya, harus tunduk pada aturan main. Salah satu wujud aturan main tersebut adalah adanya landasan legal yuridis yang jelas dan menjadi aturan main terhadap semua anasir yang berbeda dalam negara, termasuk terhadap lembaga-lembaga negara. Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya.
Secara garis besar, lembaga-lembaga negara di indonesia dibentuk melalui tiga dasar legalitas. yang pertama adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, yang kedua adalah lembaga-lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang, dan yang terakhir adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
Sebagaimana penjelasan sebelumnya tentang devinisi politik hukum menurut Mahfud MD yang menyatakan bahwa politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Selain itu padmo wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup pembentukan, penerapan dan penegakan hukum. sementara itu satjipto rahardjo mendefinisikan poltik hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas pertanyaan mendasar yaitu:
1.      Tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada
2.      Cara-cara apa dan yang mana yang dirasa paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut.
3.      Kapan waktunya dan melalui cara bagaimana hukum itu perlu diubah
4.      Dapatkah suatu pola yang baku yang mapan dirumrskan untuk membantu dan memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.
Dasar pemikiran dari berbagai definisi politik hukum seperti yang dijelaskan itu didasarkan pada kenyataan bahwa negara kita mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai itu dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya melalui pemberlakuan atau penindakberlakuan hukum-hukum sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara kita.
Pembentukan lembaga lembaga negara merupakan suatu proses politik hukum. Jika dikaitkan dengan berbagai devinisi politik hukum yang ada, sangat jelas bahwa gagasan atau konsep pembentukan lembaga baru yang direalisasikan melalui pembuatan hukum baru sebagai dasar legalitas, dengan tujuan pencapaian tujuan negara adalah merupakan satu paket yang tak terpisahkan dalam politik hukum.




C.    Terbentuknya Lembaga Negara DPD, KY, KPK, dan MK Sebagai Rangkaian Proses Politik Hukum Di Era Reformasi
1.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lahir pada tanggal 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD yang terpilih untuk pertama kalinya dilantik dan diambil sumpahnya. Pada awal pembentukannya, masih banyak tantangan yang dihadapi oleh DPD. Tantangan tersebut mulai dari wewenangnya yang dianggap jauh dari memadai untuk menjadi kamar kedua yang efektif dalam sebuah parlemen bikameral, sampai dengan persoalan kelembagaannya yang juga jauh dari memadai. Tantangan-tantangan tersebut timbul terutama karena tidak banyak dukungan politik yang diberikan kepada lembaga baru ini. 
Gagasan-gagasan akan pentingnya keberadaan perwakilan daerah di parlemen, pada awalnya diakomodasi dalam konstitusi pertama Indonesia, UUD 1945, dengan konsep “utusan daerah” di dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang bersanding dengan “utusan golongan” dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 UUD 1945, yang menyatakan bahwa “MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang.” Pengaturan yang longgar dalam UUD 1945 tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Dalam periode konstitusi berikutnya, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS), gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Senat Republik Indonesia Serikat yang mewakili negara bagian dan bekerja bersisian dengan DPR-RIS. Pemegang kedaulatan didalam RIS adalah pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat [pasal 1 (2)] yang sekaligus merupakan badan pembentuk undang-undang khusus, yakni, mengenai satu, beberapa, atau semua daerah bagian atau bagiannya, atau yang khusus mengenai hubungan antara RIS dan daerah-daerah yang tersebut pada pasal 2 (Pasal 127a).
Selanjutnya, dalam UUD Sementara (UUDS) 1950 (Undang-Undang No. 7 Tahun 1950) tetap mengakomodasi Senat yang sudah ada sebelumnya, selama masa transisi berlangsung. Masa transisi ini ada karena UUDS 1950, yang dibuat untuk menghentikan federalisme ini, secara khusus mengamanatkan adanya pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan anggota Konstituante untuk membuat UUD yang definitif yang akan menjadi landasan bentuk dan pola baru pemerintahan Indonesia. Karena itulah, penting untuk dicatat, adanya Senat dalam UUDS 1950 hanya diberlakukan selagi Pemilu yang direncanakan belum terlaksana (kemudian terlaksana pada tahun 1955). Dalam sistem perwakilan UUDS itu sendiri, Senat ditiadakan karena bentuk negara tidak lagi federal.
Setelah UUD RIS 1949 dan UUDS 1950, Indonesia kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konsekuensinya, “utusan daerah” kembali hadir. Dekrit ini lantas diikuti dengan dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang Pembentukan MPR Sementara (MPRS) dan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1959 tentang Susunan MPRS. Penetapan Presiden No. 12/1959 ini menetapkan bahwa MPRS terdiri dari anggota DPRS (hasil Pemilu 1955) ditambah utusan daerah dan golongan karya. Anggota MPRS tidak dipilih melalui Pemilu, melainkan melalui penunjukan oleh Soekarno. Kemudian Soekarno memangkas fungsi, kedudukan, dan wewenang MPRS melalui Ketetapan MPRS No. 1 Tahun 1960 sehingga MPRS hanya bisa menetapkan GBHN, tanpa bisa mengubah UUD.
Pada masa pemerintahan Soeharto, skema ini tidak berubah. Utusan daerah sebagai anggota MPR hanya bekerja sekali dalam lima tahun, untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta menetapkan GBHN. Tidak ada hal lainnya yang dapat dilakukan oleh utusan daerah selama lima tahun masa jabatannya. Akibatnya, efektivitasnya sebagai wakil daerah dalam pengambilan keputusan tingkat nasional dapat dipertanyakan. Bila dibandingkan dengan konsep parlemen dua kamar (bikameral) yang menjadi rujukan perwakilan daerah, keberadaan utusan daerah ini berada di luar konteks.
Perkembangan pemikiran yang signifikan kemudian muncul pada pembahasan amandemen UUD 1945 pada 1999-2002. Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada Sidang Umum MPR tahun 1999 yang berlangsung pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dan perubahan kedua dilakukan pada Sidang Tahunan MPR yang berlangsung pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Setelah perubahan kedua tersebut, MPR masih memandang perlu untuk melanjutkan ke perubahan ketiga UUD 1945. Dalam perubahan ketiga inilah muncul gagasan untuk membentuk parlemen yang menganut sistem bikameral, yang kemudian melahirkan secara legal formal DPD yang ada sekarang.
Munculnya gagasan bikameral bermula dari pernyataan resmi Fraksi Utusan Golongan (F-UG) dalam rapat Badan Pekerja MPR (BP MPR) yang ditugaskan mempersiapkan materi Sidang MPR. Fraksi UG mengemukakan bahwa keberadaannya tidak diperlukan lagi di MPR karena merupakan hasil pengangkatan dan bukan pemilihan. Hal ini bertentangan dengan semangat demokrasi yang menghendaki bekerjanya prinsip perwakilan berdasarkan pemilihan.  Anggota UG memaparkan dua pilihan yang tersedia. Pertama, konsep awal UUD 1945 yaitu MPR yang mempersatukan kelompok yang ada dalam masyarakat. Kedua, menerapkan sistem perwakilan dua kamar dengan memperhatikan prinsip bahwa semua wakil rakyat harus dipilih melalui Pemilu.
Lalu muncul gagasan untuk lebih meningkatkan peran UD yang perannya terbatas pada penyusunan GBHN yang hanya dilakukan lima tahun sekali. Dalam suasana inilah, lahir gagasan untuk melembagakan UD yang lebih mencerminkan representasi wilayah dan bekerja secara efektif. Tidak hanya sekali dalam lima tahun.
MPR lantas menugaskan Badan Pekerja (BP) MPR untuk melanjutkan proses perubahan tersebut melalui Ketetapan MPR No. IX/MPR/2000. Persiapan rancangan perubahan UUD 1945 dilakukan dengan menggunakan materi-materi dalam lampiran ketetapan yang merupakan hasil BP MPR periode 1999-2000. Ketetapan itu juga memberikan batas waktu pembahasan dan pengesahan perubahan UUD 1945 oleh MPR selambat-lambatnya pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002.
Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah, memperluas serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional serta untuk memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, MPR RI membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Pembentukan DPD RI ini dilakukan melalui perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada bulan November 2001.
Sejak perubahan itu, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Perubahan tersebut tidak terjadi seketika, tetapi melalui tahap pembahasan yang cukup panjang baik di masyarakat maupun di MPR RI, khususnya di Panitia Ad Hoc I. Proses perubahan di MPR RI selain memperhatikan tuntutan politik dan pandangan-pandangan yang berkembang bersama reformasi, juga melibatkan pembahasan yang bersifat akademis, dengan mempelajari sistem pemerintahan yang berlaku di negara-negara lain khususnya di negara yang menganut paham demokrasi.
Dalam proses pembahasan tersebut, berkembang kuat pandangan tentang perlu adanya lembaga yang dapat mewakili kepentingan-kepentingan daerah, serta untuk menjaga keseimbangan antar daerah dan antara pusat dengan daerah,  secara adil dan serasi. Gagasan dasar pembentukan DPD RI adalah keinginan untuk lebih mengakomodasi aspirasi daerah dan sekaligus memberi peran yang lebih besar kepada daerah dalam proses pengambilan keputusan politik untuk  hal-hal terutama yang berkaitan langsung dengan kepentingan daerah. Keinginan tersebut berangkat dari indikasi yang nyata  bahwa pengambilan keputusan yang bersifat sentralistik pada masa lalu ternyata telah mengakibatkan ketimpangan dan rasa ketidakadilan, dan diantaranya juga memberi indikasi ancaman keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Keberadaan unsur Utusan Daerah dalam keanggotaan MPR RI selama ini (sebelum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945) dianggap tidak memadai untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut.
2.      Komisi Yudisial (KY)
Gagasan tentang perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dalam pembahasan RUU Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Tahun 1968 misalnya, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Majelis ini diharapkan berfungsi memberikan pertimbangan dan mengambil keputusan terakhir mengenai saran-saran dan/atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian, dan tindakan/hukuman jabatan para hakim yang diajukan, baik oleh Mahkamah Agung maupun oleh Menteri Kehakiman.
Namun, ide tersebut menemui kegagalan sehingga tidak berhasil menjadi materi muatan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sewaktu terjadi proses reformasi di tahun 1998 gagasan perlunya lembaga khusus yang mempunyai fungsi-fungsi tertentu dalam ranah kekuasaan kehakiman memperoleh perhatian yang sangat signifikan.
Bagian penjelasan umum Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa untuk meningkatkan check and balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat. Selain itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim serta menyusun kode etik bagi para hakim.
Ketika proses amandemen UUD 1945 dilakukan, gagasan mewujudkan lembaga khusus sebagai pengawas eksternal badan peradilan demi untuk menegakkan kewibawaan peradilan semakin mendapatkan perhatian yang sangat serius dari para wakil rakyat di DPR. Melalui Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2001 disepakati tentang pembentukan Komisi Yudisial.
Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maksud dasar yang menjadi semangat pembentukan Komisi Yudisial disandarkan pada keprihatinan mendalam mengenai kondisi wajah peradilan yang muram dan keadilan di Indonesia yang tak kunjung tegak. Komisi Yudisial karenanya dibentuk dengan dua kewenangan konstitutif, yaitu untuk mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya, dalam rangka mengoperasionalkan keberadaan Komisi Yudisial, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Komisi ini dibentuk sebagai respon terhadapupaya penegakan dan reformasi di institusi peradilan, yang selama ini dianggap kurang baik. Selain itu untuk meminimalisasi interes politik dari anggota DPR di dalam memilih dan menentukan hakim agung di mahkamah agung. Mahkamah agung adalah institusi peradilan yang independen dan seharusnya lepas dari campur tangan dari kekuasaan manapun. Dengan adanya komisi yudisial, pencalonan hakim agung diharapkan dilakukan secara transparan, objektif, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Komisi yudisial juga dibentuk untuk memberikan pengawasan terhadap perilaku hakim. Pengawasan yang dilakukan secara internal peradilan terhadap para hakim terbukti kurang efektif untuk menindak secara tegas hakim-hakim yang melakukan pelanggaran.
Dari penjelasan sebelumnya maka dapat di buat suatu kesimpulan bahwa tujuan dibentuknya komisi yudisial adalah :
1.      Mendukung terwujudnya kekuasaan kehakiman yang mandiri  untuk menegakkan hukum dan keadilan.
2.      Meningkatkan integritas, kapasitas, dan profesionalitas hakim sesuai dengan kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam menjalankan kewenangan dan tugasnya.
3.      Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tindak pidana korupsi di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang semakin sistematis. Bahkan lingkupnya memasuki seluruh aspek dan lini kehidupan, tidak saja di lembaga eksekutif, yudikatif, tetapi juga di lembaga legistif, baik di pusat maupun di daerah.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa.
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi yang pelaksanakannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, professional serta berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN, Undang Undang No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN serta Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Berdasarkan pasal 43 Undang Undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang No. 20 tahun 2001 , badan khusus tersebut selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki kewenangan melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, sedangkan mengenai pembentukan, susunan organisasi dan tata kerja dan pertanggungjawaban, tugas dan wewenang diatur dalam Undang Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut ketentuan pasal 6 Undang Undang No 30 tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas :
a.       melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
b.      melakukan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c.       melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi ;
d.      melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan
e.       melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban :
a.       memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindaki pidana korupsi;
b.      memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
c.       menyusun laporan tahunan dan menyampaikan kepada Presiden RI, DPR RI dan BPK;
d.      menegakkan sumpah jabatan;
e.       menjalankan tugas, tanggungjawab dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Dengan demikian KPK dalam Undang Undang ini dapat melakukan berbagai fungsi sebagai berikut :
a.       dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dengan institusi dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
b.      Tidak memonopoli tugas dan wewenang Penyelidikan, Penyidikan, Dan Penuntutan.
c.       Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang ada dalam pemberantasan korupsi.
d.      Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil-alih tugas dan wewenang Penyelidikan, Penyidikan, Dan Penuntutan (super body) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian atau kejaksaan.

4.      Mahkamah Konstitusi (MK)
Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung (MA), Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah lama memperjuangkan agar mahkamah agung diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu strategi yang dicetuskan sejak tahun 1970-an untuk memberdayakan mahkamah agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, untuk mengurangi beban tunggakan perkara yang terlalu besa, yang kebanyakan dilihat dari sudut hukum sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah hukum penting yang harus diperiksa mahkamah agung, yang merupakan salah penerapan maupun melampaui wewenangnya.
Strategi lain adalah mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan pada mahkamah agung untuk menangani dan mengawasi juga masalah administrasi, kewenangan, dan organisasi, sehingga dapat lebih menjamin kemandirian mahkamah agung. Tuntutan tersebut tidak pernah mendapat tanggapan yang serius untuk waktu yang lama. Hal tersebut dapat dipahami, karena suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik, waktu itu tidak memperkenankan adanya perubahan konstitusi. Bahkan UUD 1945 cenderung disakralkan. Padahal tuntutan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan perubahan konstitusi.
Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi yang membawa kejatuhan pemerintah Orde Baru ditahun 1998, terjadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan pertama UUD 1945 Pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan penguatan DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan perubahan kedua yang telah mengamandir Undang-Undang Dasar 1945 lebih jauh lagi.
Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling menonjol adalah dimasukannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA. Perubahan ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan diperintahkannya pemilihan presiden dan wakil presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Dan dapata diberhentikan dalam masa jabatannya karena telah diduga melakukan pelanggaran hukum dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi terlebih dahulu harus melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan mahkamah konstitusi yang menyatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.
Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (Presiden) pada waktu itu, yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional yang baik, merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya mahkamah konstitusi di Indonesia. Hal lain yang mendasari lahirnya Mahkamah Konstitusi adalah banyaknya lembaga-lembaga negara baru yang terbentuk di era reformasi, maka rawan akan terjadinya perselisihan antara lembaga. Olehnya itu diperlukan lembaga negara yang independen untuk menyelesaikan sengketa antar lembaga negara tersebut.
Berdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.
Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi.
Setelah melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang penulis kemukakan sebelumnya maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.      Pembentukan lembaga lembaga negara merupakan suatu proses politik hukum. Jika dikaitkan dengan berbagai devinisi politik hukum yang ada, sangat jelas bahwa gagasan atau konsep pembentukan lembaga baru yang direalisasikan melalui pembuatan hukum baru sebagai dasar legalitas, dengan tujuan pencapaian tujuan negara adalah merupakan satu paket yang tak terpisahkan dalam politik hukum.
2.      Di negara Indonesia, ada beberapa hal yang menjadi inti dan mempengaruhi banyaknya pembentukan lembaga-lembaga baru yang bersifat independen, diantaranya sebagai berikut :
a.       Tidak adanya kredibilitas lembaga-lembaga yang telah ada akibat asumsi (dan bukti) mengenai korupsi yang sistematik dan mengakar dan sulit untuk diberantas.
b.      Tidak independennya lembaga-lembaga negara yang ada karena satu atau lain halnya tunduk dibawah pengaruh satu kekuasaan negara atau kekuasaan lain.
c.       Ketidakmampuan lembaga-lembaga negara yang telah ada untuk melakukan tugas-tugas yang urgen dilakukan dalam masa transisi demokrasi karena persoalan birokrasi dan KKN.
d.      Pengaruh global, dengan pembentukan yang dinamakan auxiliary state agency  atau watchdog institutions dibanyak negara yang berada dalam situasi transisi menuju demokrasi telah menjadi suatu kebutuhan bahkan suatu keharusan sebagai alternatif dari lembaga-lembaga yang ada yang mungkin menjadi bagian dari sistem yang harus direformasi
e.       Tekanan lembaga-lembaga internasional tidak hanya sebagai prasyarat untuk memasuki pasar global, tetapi juga untuk membuat demokrasi sebagai satu-satunya jalan bagi negara-negara yang asalnya berada dibawah kekuasaan yang otoriter.
B.     Saran
Setelah membahas dan menganalisa terhadap permasalahan yang dikemukakan sebelumnya, maka saran yang dapat diberikan penulis yaitu Membentuk Lembaga Negara baru di masa-masa yang akan datang, ada empat prinsip yang harus diperhatikan agar lembaga yang di bentuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal sehingga terbentuknya lembaga negara tersebut mampu menjawab kebutuhan hukum rakyat indonesia dan terhindar dari sengketa dengan lembaga negara yang lain. Keempat prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.      penegasan prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada di batasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme atau prosedur yang tetap. Untuk itu, pembentukan lembaga-lembaga negara tidak lain untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme sehingga hak-hak dasar warga negara semakin terjamin.
2.      Prinsip checks and balance. Banyaknya penyimpangan di masa lalu, salah satunya disebabkan ketiadaan mekanisme checks and balance dalam sistem bernegara. Prinsip checks and balance menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Untuk itu pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD 1945 yang mengarah ke saparation of power, untuk lebih menciptakan mekanisme check and balance.
3.      Prinsip integrasi. Pada dasarnya konsep kelembagaan negara selain harus memiliki fungsi dan kewenangan yang jelas juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsi-fungsi negara dalam sistem pemerintahan secara aktual. Pemebentukan lembaga negara tidak bisa dilakukan secara parsial, keberadaannya harus dikaitkan dengan lembaga-lembaga negara lain yang telah ada dan eksis sebelumnya. Lembaga-lembaga negara harus disusun sedemikian rupa sehingga menjadi satu kesatuan proses yang saling mengisi dan memperkuat.
4.      Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Tujuan pembentukan negara pada dasarnya adalah untuk memenuhi kesejahteraan warganya dan menjamin hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Untuk itu penyelenggaraan pemerintahan dan pembentukan lembaga-lembaga negara harus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara.
















DAFATAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi Dan Konstitusioonalisme Indonesia. Jakarta : Konstitusi Press.
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara. Jakarta : Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI).
Djauhari. 2008. Politik Hukum Negara Kesejahteraan Indonesia. Semarang : Unissula press.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : Sinar Grafika.
Huda, Ni’Matul. 2007. Lembaga Negara Dalam Masa Transisi Demokrasi. Yogyakarta : UII Press.
Joeniarto. 2003. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Mahfud MD, Moh. 2011. Politik Hukum Di Indonesia. Jakarta : Rajawali Grafindo Persada.
Regon, Saragih Bintan. 2006. Politik Hukum. Bandung : CV. Utomo.
Siahaan, Maruarar. 2011. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.
Yuhana, Abdy. 2007. Sistim Ketatanegaraan Di Indonesia Paska Perubahan UUD 1945. Bandung : Fokus Media.